JAKARTA – Ketua MPR. RI Bambang Soesatyo mengatakan bahwa lembaganya akan menggelar Rapat Gabungan MPR RI pada 20 September 2022 mendatang, untuk membahas rencana pembentukan Panitia Ad Hoc Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).
Panitia Ad Hoc ini akan bertugas menyiapkan rancangan Keputusan MPR RI, tentang bentuk hukum dan rancangan PPHN tanpa melalui mekanisme Amandemen UUD 1945.MPR mengusulkan pengambilan keputusan pembentukan Panitia Ad Hoc dalam Sidang Paripurna MPR RI pada 3 Oktober 2022.
“Sebelum menuju Sidang Paripurna, pada Selasa 20 September 2022, MPR RI akan kembali menyelenggarakan Rapat Gabungan dengan agenda mendengarkan tanggapan fraksi dan kelompok DPD atas laporan Badan Pengkajian mengenai kajian substansi dan bentuk hukum PPHN serta memutuskan jadwal dan agenda Sidang Paripurna; serta menetapkan tugas dan waktu yang disediakan untuk Panitia Ad Hoc dalam menyelesaikan tugasnya,” ujar Bamsoet dalam keterangannya disampaikan Selasa (30/8) malam.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menjelaskan, pembentukan Keputusan MPR soal PPHN, dilakukan melalui 3 tingkat pembicaraan. Tingkat I, pembahasan dalam Sidang Paripurna didahului penjelasan Pimpinan MPR, dilanjutkan Pandangan Umum Fraksi dan Kelompok DPD.
Tingkat II, pembahasan oleh Panitia Ad Hoc terhadap semua hasil pembicaraan tingkat I dan hasil pembahasan pada tingkat II ini merupakan Rancangan Keputusan MPR. Kemudian pembicaraan tingkat III, yakni pengambilan keputusan oleh Sidang Paripurna setelah mendengar laporan Pimpinan Panitia Ad Hoc.
Lanjut dikatakan Bamsoet, Sidang Paripurna membahas Panitia Ad Hoc PPHN tersebut, akan menjadi Sidang Paripurna yang pertama kali diselenggarakan PR RI sejak reformasi bergulir, di luar Sidang Paripurna rutin seperti pelantikan presiden/wakil presiden maupun Sidang Tahunan.
Sidang Paripurna ini diselenggarakan sebagai tindak lanjut atas kesepakatan Rapat Gabungan pada 25 Juli 2022 lalu. Saat itu seluruh Fraksi dan Kelompok DPD telah menerima hasil kajian substansi dan bentuk hukum PPHN yang dilakukan Badan Pengkajian MPR RI.
Sebelumnya, Badan Pengkajian MPR merekomendasikan menghadirkan PPHN, tanpa melalui perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. PPHN, kata Bamsoet, perlu diatur melalui peraturan perundang-undangan yang hierarkinya berada di bawah Undang-Undang Dasar, tetapi harus di atas Undang-Undang.
Alasannya, Pokok-Pokok Haluan Negara tidak boleh lebih filosofis daripada Undang-Undang Dasar, sekaligus tidak boleh bersifat teknis atau teknokratis seperti Undang-Undang.
“Dengan demikian, memang idealnya, PPHN perlu diatur melalui Ketetapan MPR, dengan melakukan perubahan terbatas terhadap UUD Republik Indonesia Tahun 1945. Namun, untuk saat ini, seperti kita pahami bersama, gagasan tersebut sangat sulit untuk direalisasikan. Oleh sebab itu, mengingat urgensinya berkaitan dengan momentum 5 tahunan, gagasan menghadirkan PPHN yang diatur melalui Ketetapan MPR, cara menghadirkannya akan diupayakan melalui konvensi ketatanegaraan,” ujar Bamsoet dalam Sidang Bersama MPR pada 16 Agustus 2022 lalu.
Terkait rencana tersebut, ternyata fraksi-fraksi di MPR belum bulat setuju menghadirkan PPHN lewat konvensi seperti klaim Bamsoet. Fraksi-fraksi masih belum satu kata soal payung hukum PPHN. Fraksi Golkar MPR, partai Bambang sendiri, menolak usul PPHN dihadirkan lewat konvensi ketatanegaraan. “Fraksi Partai Golkar MPR RI dengan tegas menolak,” ujar Ketua Fraksi Partai Golkar MPR RI, Idris Laena lewat keterangan tertulis, beberapa hari lalu.
Musababnya, lanjut Idris, konvensi tidak punya kekuatan hukum mengikat, baik terhadap lembaga negara yang lainnya, apalagi untuk mengikat seluruh Warga Negara Indonesia.
“Kalau konvensi yang dijadikan contoh adalah Pidato Presiden di Sidang Tahunan MPR RI 16 Agustus, yang setiap tahun dilaksanakan tanpa diatur konstitusi, tentu saja berbeda, karena pidato tahunan bukan produk hukum,” ujar dia.
Lagipula, sambung Idris, payung hukum penyelengaraan Pidato Kenegaran Presiden 16 Agustus, hanya diatur dalam Pasal 100 Peraturan MPR RI Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Tertib MPR RI.
“Menjadikan Pasal 100 tata tertib MPR sebagai landasan produk hukum PPHN, sudah pasti akan menjadi perdebatan panjang di kalangan masyarakat, karena tata tertib masing-masing lembaga hanya mengikat ke dalam dan bukan bagian dari hirarki perundang-undangan Indonesia. Fraksi Partai Golkar pasti akan menolak wacana menghadirkan PPHN dengan landasan hukum yang mengada-ada dan terkesan dipaksakan,” ujar dia.
Fraksi Golkar mengusulkan payung hukum PPHN berlandaskan undang-undang. “Lebih baik UU, karena lebih mengikat sebagai produk hukum dan sekaligus dapat menggantikan UU RPJPM yang akan segera berakhir,” tutur Idris.
Sumber : Tempo.co | Editor : TMC