DEWAN Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) beberapa waktu lalu, menghadiri sidang uji materi (judicial review) di Mahkamah Konstitusi, terkait gugatan UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu dalam perkara nomor 114/PUU-XX/2022. Gugatan tersebut, pada intinya, menggugat menginginkan penerapan Sistem Proporsional Terbuka yang berjalan saat ini di ubah menjadi proporsional tertutup. Oleh karenanya, kehadiran DPR baik berasal dari fraksi yang mendukung penerapan Sistem Proporsional Terbuka maupun dari fraksi yang mendukung Sistem Proporsional Tertutup, untuk memberikan pendapatnya pada sidang Uji Materi di MK.
Mewakili 8 fraksi yang sepakat menggunakan Sistem Proporsional Terbuka, Supriansa, menjelaskan bahwa sistem tersebut perlu dipertahankan untuk tetap digunakan dalam Pemilu 2024. Alasannya, sistem ini dinilai sangat demokratis dengan melibatkan masyarakat secara luas, untuk memilih wakil-wakilnya di parlemen.
“Delapan fraksi, (yaitu) Partai Golkar, Partai Gerindra, NasDem, PKB, PKS, PAN, PPP dan Partai Demokrat. Semuanya sepakat bahwa Sistem Proporsional Terbuka adalah sebuah sistem pemilu yang sangat demokratis, karena melibatkan secara luas masyarakat Indonesia untuk memilih wakil-wakilnya, yang akan duduk di DPR, DPRD kabupaten/kota dan provinsi,” jelas Supriansa saat ditemui seusai menghadiri sidang di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, pada Kamis (26/01/2023).
Politisi Fraksi Partai Golkar ini lanjut mengatakan, pihaknya berharap agar MK memberikan keputusan secara adil, terkait Sistem Proporsional Terbuka dan Tertutup ini, demi kemajuan Pemilu di Indonesia. “Tentu kami bersepakat untuk mempertahankannya (Sistem Proporsional Terbuka), mempertahankan di lewat persidangan, dan kami sangat berharap bahwa keputusan yang diambil nanti MK adalah keputusan yang seadil-adilnya, terbaik untuk masyarakat Indonesia, demi kemajuan Pemilu kita yang akan datang,” harapnya.
Di sisi lain, dalam kesempatan yang sama, Arteria Dahlan meminta majelis hakim MK mengabulkan upaya uji materil UU Pemilu tersebut. Dijelaskannya, Fraksi PDI-P memakai Pasal 22E ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan bahwa peserta pemilu adalah partai politik untuk memilih Anggota DPR dan Anggota DPRD. Sehingga, dalil tersebut digunakan sebagai dukungan atas Sistem Proporsional Tertutup.
Dengan adanya sistem tersebut, Fraksi PDI-P berpandangan akan menegaskan posisi partai politik, bukan hanya terlibat dalam menyeleksi calon legislatif (caleg), melainkan menjadi pihak yang secara langsung berkompetisi. “Sangat relevan apabila partai politik lah yang diberi kewenangan, menentukan siapa saja caleg menurut versi dan pertimbangannya sendiri yang akan dihadirkan untuk dipilih menjadi calon anggota DPR dan DPRD sebelum dipilih oleh rakyat,” ujar Arteria.
Ia mengungkapkan, Sistem Proporsional Tertutup akan pro terhadap rekrutmen, seleksi, pendidikan kader berjenjang, hingga penjaringan bakal caleg yang ketat di internal partai politik. Hal ini dinilai mendukung penguatan partai politik, di mana tak seperti Sistem Proporsional Terbuka tak sedikit bakal caleg yang sebetulnya bukan kader partai politik, tetapi digaet partai politik yang ditilik dari popularitasnya yang tinggi di masyarakat. Karena itu, Arteria lantas menegaskan, sistem pemilu seharusnya mengarah pada penguatan partai politik.
“Hal ini luput dari perhatian pihak yang mendukung Sistem Proporsional Terbuka. Lahirnya wakil rakyat yang berintegritas bukan satu hari, tapi proses panjang di mana parpol lah yang selama ini mewakafkan diri untuk mengambil peran tersebut. Seberapa besar manfaat dari penerapan Sistem Proporsional Terbuka dalam konteks demokrasi, pemenuhan demokrasi substansial, bukan demokrasi prosedural?” pungkas Arteria.
Editor : TMC