JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mendesak, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memperjuangkan Persetujuan Rancangan Undang-undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal. Dua aturan ini diyakini Mahfud, dapat membongkar lebih jauh tindak pidana pencucian uang (TPPU). Hal tersebut disampaikan Mahfud, pada saat rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR RI. Mahfud meminta dukungan Ketua Komisi III DPR RI, Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul.
“Sulit memberantas korupsi itu, tolong melalui Pak Bambang Pacul. Pak, undang-undang perampasan aset, tolong didukung biar kami bisa mengambil begini-begininya. Pak, tolong juga pembatasan uang kartal didukung,” ujar Mahfud saat rapat di Komisi III, dikutip Senin (3/4/2023).
Saat itu, Bambang mengatakan bahwa hal itu bisa saja dikabulkan secara mulus oleh DPR, asalkan ia memperoleh restu dari para ketua umum partai politik di parlemen. Oleh karena itu, Bambang meminta mahfud melobi para ketua umum partai politik. Langkah ini harus dijalankan, karena para anggota DPR, termasuk Komisi III, mengambil sikap sesuai perintah dari masing-masing pimpinan partai politiknya. Dengan demikian, tanpa ada persetujuan dari para petinggi partai, legalitas RUU untuk disahkan akan sulit tercapai. “Republik di sini, nih, gampang, pak, di Senayan ini. Lobi-nya jangan di sini, pak. Ini di sini nurut bosnya masing-masing,” kata Bambang kepada Mahfud.
Menurut Bambang, Presiden Joko Widodo juga pernah menanyakan soal dua RUU ini. Dia pun mengungkapkan secara terang-terangan bahwa kedua RUU itu ditolak karena masih menyimpan polemik. Misalnya, RUU Pembatasan Uang Kartal bisa merepotkan para anggota dewan saat kampanye. “Pak Presiden, kalau pembatasan uang kartal pasti DPR nangis semua, Kenapa? Masa dia bagi duit harus pakai e-wallet. E-wallet-nya cuman Rp20 juta lagi. Nggak bisa Pak. Nanti mereka nggak jadi lagi. Loh, saya terang-terangan ini,” ungkap Bambang.
Mengutip Indonesia Corruption Watch (ICW), RUU perampasan aset tersebut sebenarnya sudah ada sejak 2017. Sayangnya, aturan ini tidak pernah dibahas, meskipun telah masuk ke dalam daftar Program Legislasi Nasional (prolegnas) 5 tahunan, padahal praktik suap-menyuap seringkali terjadi dalam bentuk serah-terima uang tunai.
Berdasarkan catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), setidaknya terdapat 791 perkara suap-menyuap yang ditangani KPK, sejak 2004 hingga 2021. Pola transaksi secara tunai juga sering terjadi dalam tindak pidana pencucian uang. Keduanya sama-sama bertujuan untuk mengaburkan dan menghapus jejak transaksi dan aliran dana kotor tersebut.
Sumber : CNBC Indonesia | Editor : TMC